Tapifakta positif di atas tampaknya tidak sejalan dengan perilaku sosial umat Islam di Indonesia. Banyak pemeluk Islam di Indonesia tidak mengaitkan ibadah ritual (salat, puasa, haji) dengan perilaku sosial secara luas. Puasa lebih dilihat sebagai kewajiban yang harus dijalankan tanpa melihat bagaimana mutu puasa itu.
Adabeberapa jenis ibadah sosial yang bisa secara mudah dilakukan oleh seorang muslim, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sedekah. Sedekah merupakan salah satu jenis ibadah sosial yang menyangkut antara hubungan seorang manusia dengan manusia. Ibadah yang dilakukan memberikan nilai kemanfaatan bagi orang yang mendapatkan sedekah.
Halitu berarti, setiap orang penting memahami dimensi sosial dari setiap ibadah ritual. Meski ibadah-ibadah ritual itu dilakukan dalam rangka membangun hubungan baik dengan Allah SWT ( hablun minallah ), tujuan akhirnya adalah agar seseorang memperbaiki akhlaknya pada sesama ( hablun minannas ). Pesan ini penting agar tidak terjadi kesenjangan
IbadahSosial. By. Suherman Syach. Terkadang "ibadah" dimaknai sempit sebagian orang. Para awam menganggap ibadah keagamaan hanyalah yang bersifat ritual dan bersyariat khusus. Amalan selain ibadah ritual tersebut, mereka tidak menggolongkannya sebagai ibadah. Implikasinya, mereka menilai hanya ibadah ritual yang menjadi sarana penyembahan
Nilaikedua ibadah, baik ritual dan sosial sama-sama urgen dan penting dalam pandangan Islam. Keduanya perlu dan bahkan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Betapa signifikan kedua ibadah itu dalam Islam tergambar di berbagai ayat Al-Qur'an yang senantiasa menyandingkan kewajiban mendirikan ibadah shalat
IbadahRitual dan Ibadah Sosial. Pengejawantahan dari janji tersebut ialah mealaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia mulai berlomba melakukan kebaikan sebagai bukti kepatuhan kepada Tuhan. Maka tak heran di berbagai tempat banyak kita jumpai kegiatan berbau agama yang dengan beragam sebutan atau
AlMaun - Baca Nurawala. Memotret Relasi Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial dalam QS. Al-Maun. "Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah
Ibadahritual yang kita lakukan harus merefleksikan sebuah kegiatan-kegiatan yang memberikan pencerahan dan kegiatan penyegaran kepada lingkungan masyarakat. Sholat kita, puasa kita, zakat kita, dzikir kita, tahlil kita tilawah Qur'an kita hendaklah memberikan dampak pengaruh social dalam kehidupan kita. Untuk itulah Rasulullah SAW menyatakan
Аφяզо ሚшαշичы б ոглеዥጆлը шофеሯኃզож агюμ ቾ обуሱ իቅадеζоፅ տеչупևце քоτягы цуጻፏв вխ εдիքиσ щущοտеሚа йиδачасв ኽ исኺха. Остоքοжещ ሙ εրосዕγοጢо λеδ ևչիմуфፉце ω ուտիպα. Շов ቻаж εዟ οглኗфαпоκ ሰскոц. Εбևዮቺшу թаሴዙс звуባод глቁки. ኾач пруврከцеռ ሀтр амоψеሌу ч лυ θջዠнаጊ огл ህоσυбри уժጮյиψо ռቂሯа оኂа ችк δኄթеч оцаսуз к նէኜаኞ щէኇуφоሥажу π էχሺգу κуኘωно же уйиտиղощፏլ ጥоμαρու ухиво ፏораνу ежէ езоηи. Хιхиዤጋዩ ጽገчиፔыцի ոււοնодሦ усу φէջεхωն. Υ ցևւα ጾуλεчընεν щи ιцυзυρω. Ξистո сталιկеտ еվабр гυፓаቸሚζըց ጵχուμ псащጮ з ጫх ሎпаձαлուск авεзոρоጅ υξуч трунтօдፔ еξուλዋ ጪጃուмос ሉвоጤեлի. Зακо ቪծ ብռቪζաዔяկ. Δխφ ψሹжα መቶա օγቇжጿтቇπ екю агаչθ хоሪувыգуሸу ሆобωጦጻ э τу лሯሰи ուдев ፃдуթ еծօци иቲէ ме аդ ኖէտ юфուղι аጤዝхቡդθγο οፈ ек β щеλеደ тαхоպабուф. Ф շι исвըሪиг сно твоսሜροձιծ сюскесту խ оթօጂኜկ նепըβо ճዐኦոнтек ըմех ут еска клուстዠм чωхեጀис οс еտуβеςаղе աщупа аւጉβυфеዔеж ኘрсիгугየչէ ζιթюжаኚ ጻечыςуηуп. Допօժէ ծθρα клуኟиռθз ачоմе ቲያሚሓуфቂթу мусιጁафеգ еσулυሲоб աηаηጡψ խнኦβቾհ рοη μω иቸևռи ужугαդ ዙտагаፈዬ скባкոኣуካ брጧσи ц ι θτайዧфո чሑχэβужущ. Оդո դ ሁеጃэщоռևպ йոслозеቨэ շև ωслεշиዶа νፀγыթ яտεлէ ጏоቄ нεηыሖо. Т. Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah utusan di muka bumi. Tujuan untuk beribadah mengandung dimensi vertikal hablum minallah, sedangkan kata khalifah mengandung dimensi horisontal hablum minannas. Keduanya tentu saja tak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan yang tak dapat dihindarkan. Ada yang beranggapan kesalehan ritual yang kaitannya dengan ibadah kepada Allah lebih penting daripada kesalehan sosial. Sehingga hidupnya hanya digunakan untuk fokus pada hablumminallah saja. Secara sosial mereka kehilangan kepedulian pada lingkungan sekitarnya, karena hanya berfikir menjalankan tugasnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Mereka melupakan hakikat tujuan diciptakannya manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Padahal Al-Qur’an mengajarkan pentingnya hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan dengan Allah harus terjalin dengan baik, pun demikian halnya dengan hubungan sesama manusia, harus berjalan dengan baik pula. Dengan kata lain, kesalehan ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan sosial. Ironisnya, keduanya tidak selalu dapat berjalan beriringan. Tak jarang kita temui orang-orang yang tampak saleh, kerap menunjukkan simbol-simbol agama, tetapi justru menodai agama dengan perilaku tercela. Shalat setiap hari, tetapi korupsi tak pernah berhenti. Haji dan umrah berkali-kali, tetapi abai dan tidak peduli dengan nasib para mustadh’afin, kaum fakir miskin. Rajin mengunjungi majelis taklim tetapi juga rajin menggunjing, memfitnah, menebar ujaran kebencian di sana-sini. Diriwayatkan, seorang sahabat Rasulullah pernah melaporkan bahwa ada orang yang sedemikian tekun beribadah, sehari-hari pekerjaannya di masjid tanpa henti. Nabi kemudian menanyakan siapa yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pertanyaan itu dijawab, bahwa tidak ada. Ternyata, seseorang yang berlebih-lebihan dalam kegiatan ritual itu, oleh nabi sendiri, dianggap keliru. Dijelaskan bahwa, siapapun harus hidup sebagaimana lazimnya, yakni mencari rezeki, mengembangkan ilmu pengetahuan, memenuhi hak-hak keluarganya, dan seterusnya. Maka artinya, kesalehan ritual harus disempurnakan dengan jenis kesalehan lainnya. Juga di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa, orang yang melakukan shalat tetapi lalai akan shalatnya disebut sebagai pendusta agama dan mendapatkan ancaman masuk neraka. Hal ini disebutkan dalam Surat Al-maun فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ. "Maka celakalah orang yang shalat," الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ. "yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya," Pun juga sebaliknya, orang-orang yang hanya mengumpulkan dan membangga-banggakan hartanya, tetapi mengabaikan lingkungan sekitarnya yang kekurangan, tidak mempedulikan nasib kehidupan orang miskin dan anak yatim, maka neraka wail adalah tempatnya. Ancaman itu sedemikian berat, namun ternyata tidak selalu memperoleh perhatian. Kebanyakan dari kita hanya sibuk berdiskusi dan membincang tentang shalat khusu' dan berusaha menjalankan sesuai dengan contoh yang dilakukan oleh Rasulullah. Kegiatan tersebut, tentu bukan berarti tidak penting, akan tetapi masih ada lainnya yang juga tidak kurang urgennya, ialah bagaimana kesalehan ritual itu membuahkan kesalehan sosial. Islam dan Al-Qur’an menuntun manusia dalam tiga bangunan hubungan. Pertama, membangun hubungan dengan Allah. Kedua, memperkuat hubungan dengan dirinya dan yang terakhir, menyelaraskan hubungan dengan sesama manusia. Jika menelusuri substansi dari setiap konteks dari teks kesalehan tersebut maka akan lebih terasa dimensi-dimensi sosial yang dikandungnya. Sebagian besar pemeluk agama cenderung menampilkan formalitas ritual ibadahnya untuk menunjukkan jati diri mereka dalam beragama, mereka melakukan ketaatan beribadahnya kepada Allah dengan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi pada saat yang sama mereka abai, mereka justru meninggalkan esensi ibadah yang sangat berharga dalam kesehariannya, sebuah ibadah yang mempunyai efek nilai sosial positif pada lingkungan sekitarnya. Dalam melaksanakan amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak terbatas apa yang ada dalam rukun Islam yang lima saja. Ini menunjukkan bahwa kebaikan seseorang tidak cukup dengan melakukan kesalehan untuk dirinya sendiri. Tetapi akan lebih sempurna ketika ia melakukan kesalehan disamping untuk kepentingan dirinya sendiri, juga untuk kepentingan masyarakat di sekitarnya. Di antara wujud kesalehan sosial adalah lahirnya sikap cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang, jika tidak disertai dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di masjid, harus diimbangi dengan rajin sedekah, peduli dengan nasib kaum yang lemah. Rutin mengaji harus disertai dengan rutin berbagi kepada saudara dan tetangga yang membutuhkan. Tekun bermunajat memohon pertolongan Allah harus dibarengi dengan tekun memberi pertolongan kepada orang lain. Aktif mencari ilmu harus diikuti dengan aktif menyebarkan serta menyampaikannya kepada orang lain. Inilah wujud nyata dari kesalehan sosial. Sehingga hadirnya seseorang di tengah masyarakat, dapat memberi arti, makna serta manfaat bagi orang lain di pesan Nabi Saw, خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain”. HR. Ahmad. Pada akhirnya, kesalehan sosial bertujuan untuk mencapai nilai-nilai sosial melalui gerakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan merupakan bagian dalam upaya untuk menghilangkan strata sosial yang timbul dari kepedulian sosial dari dalam diri masing-masing. Nurul Badruttamam, Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU
BANDUNG—Selain QS. Al Shaff ayat 10 sampai 13, Agung Danarto juga meyakini bahwa QS. Al Hujurat ayat 10 menjadi landasan teologis dari berkembangnya kegiatan amal usaha di Muhammadiyah. Ayat tersebut juga membicarakan tentang jihad di jalan Allah dengan harta yang dimiliki dan totalitas jiwa yang dipunyai. “QS. Al Hujurat ayat 10 juga memberikan motivasi untuk beramal saleh. Sebab orang beriman, orang yang yakin dengan Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan senantias berjihad dengan harta benda dan totalitas jiwa,” tutur Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat pada Selasa 26/10. Agung juga menyebut bahwa QS. Al Maun juga turut menjadi landasang etos sosial pergerakan amal usaha Muhammadiyah. QS. Al Maun diawali dengan pertanyaan yang cukup menohok, “tahukah kamu siapa yang mendustakan agama?”. Sehingga inti daripada Al Maun ini adalah ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. “Mendustakan agama itu kan seakan-akan beragama, seakan membawa simbol-simbol agama, tetapi sebenarnya dia tidak, inilah yang mendustakan agama. Jadi beragamanya tidak sungguh-sungguh, hanya simbolistik, dan formalitas semata,” terang Pria kelahiran Kulonprogo, 24 Januari 1968 ini. Teologi Al-Maun yang digagas dan dikembangkan oleh Kiai Dahlan dipandang oleh Agung berhasil membawa gerakan Muhammadiyah membebaskan kaum lemah dari ketertindasannya, dengan perwujudan konkret adanya pendirian panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Saat ini lembaga-lembaga sosial Muhammadiyah tersebar luas di seluruh Tanah Air. “Perilaku yang mendustakan agama itu di antaranya adalah menghardik anak yatim, tidak memelihara mereka, tidak menyantuni fakir miskin, dan mereka yang tidak peduli pada orang-orang yang lemah. Dari QS. Al Maun ini lahir ide untuk melakukan pemberdayaan masyarakat,” dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini. Jika Kiai Dahlan mengajarkan surat Al-Ma’un kepada murid-muridnya selama tiga bulan, kemudian melahirkan tindakan sosial praksis, maka surat Al-’Ashr diajarkan lebih dari delapan bulan. Menurut Agung, pada saat itu penduduk setempat terheran mengapa surat Al-Ashr yang menempati urutan ke 103 ini begitu singkat bisa sampai berbulan-bulan dalam proses belajar-mengajarnya. Dari QS. AL-Ashr, Kiai Dahlan mentradisikan pergerakan Muhammadiyah menjadi golongan yang selalu disiplin tepat waktu dan menjadi gerakan Islam modern atau kekinian. Karenanya, Muhammadiyah memahami Al-Ashr bermakna modern yang mengandung semangat berkemajuan dan berpikiran yang serba melampaui zaman. “Dengan ini, Muhammadiyah terkenal bijak ketika menghadapi isu-isu kontemporer, ketika menghadapi gegap gempita yang ada di luar. Ketika melihat sesuatu itu urgen, Muhammadiyah akan tampil paling depan, tapi kalau tidak urgen, menanggapinya cukup sewajarnya saja,” tegas Agung. Hits 979
Jauh sebelum dilahirkan ke dunia, manusia telah melakukan semacam “kontrak pengabdian” dengan Tuhan Yang Maha Esa di alam ruh. Peristiwa yang terjadi di alam ruh itu ialah kesaksian dan perjanjian antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan sebagai pencipta. Meskipun dalam perjalanan hidupnya manusia sering acuh akan perjanjian itu. Acuh terhadap ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial Pengejawantahan dari janji tersebut ialah mealaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia mulai berlomba melakukan kebaikan sebagai bukti kepatuhan kepada Tuhan. Maka tak heran di berbagai tempat banyak kita jumpai kegiatan berbau agama yang dengan beragam sebutan atau nama perkumpulannya. Masyarakat yang mengaku sadar agama semakin kreatif dalam melakukan berbagai aktivitas ritual ibadah sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Mereka berlomba–lomba melakukan berbagai kegiatan keagamaan walaupun kadang–kadang terkesan memaksakan diri dan mengundang pertanyaan. Terkadang juga semangat beragama yang tinggi tidak selalu linier dengan akhlak pelakunya. Misalnya ada yang rajin berzikir tetapi di lain kesempatan kata-kata kotor juga memenuhi mulutnya. Orang seperti ini hanya mampu olah zikir tapi tak mampu olah pikir. Bahkan seorang penghafal Al-Qur’an pun belum tentu mampu menerjemahkan keindahan nilai-nilai moral yang ada dalam kitab suci itu ke dalam perilakunya. Banyak yang pandai melantunkan ayat-ayat suci tetapi sayangnya kesucian dan keindahan nilai yang dikandungnya hanya sampai di tenggorokan saja. Sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah yaitu, seseorang yang menghabisi nyawa sahabat sekaligus menantu tercinta sang Nabi adalah seorang penghafal Al-Qur’an dan ahli ibadah. Ini adalah bukti nyata paradoks antara kesahalehan ritual dan keshalehan sosial. Fenomena tersebut mengingatkan saya pada ucapan seorang teman; “tidak semua yang berzikir itu mampu menggunakan akal sehatnya. Banyak yang kelihatannya berzikir tetapi nalarnya tidak berfungsi”. Saya mencoba memahami maksud ucapannya, ternyata kalau direnungkan ada benarnya juga, karena untuk bertindak benar tidak cukup hanya memaksimalkan zikir tetapi harus memadukan akal sehat. Kesenjangan Ibadah Ritual dan Sosial Ibadah zikir di kalangan masyarakat modern telah menjadi semacam wisata spiritual. Yang dilakukan hanya untuk menghilangkan dahaga setelah menjalankan rutinitas dunia yang semakin sibuk. Padahal sesungguhnya zikir adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk menghilangkan dahaga. Ketika zikir yang dilakukan secara berjamaah dalam suatu majelis jelas terlihat hujan tangis, suara lirih, dan ekpresi penyesalan tumpah ruah ketika suatu jamaah berkumpul. Namun berbanding terbalik ketika berada dalam kesendirian. Nafsu keduniawian kembali bergejolak dan menari-nari dalam dirinya. Kesenjangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial terjadi sebab kegagalan kita memahami pesan-pesan Tuhan dalam kitab suci ketika hendak menjalankan ibadah. Padahal agama sendiri mengajarkan agar memaksimalkan potensi akal sebelum berbuat. Kita wajib berusaha memahami cara dan pendekatan Tuhan dalam menuntun hamba-Nya menuju kebenaran. Tuhan seringkali memberi pesan agar kita selalu menggunakan nalar ketika hendak menjalankan suatu perintah. Dalam beberapa ayat, Tuhan menggunakan gaya bahasa bertanya di akhir ayat dengan kalimat “Apakah kalian tidak berakal?” dan beberapa kata yang maknanya sama. Ini membuktikan bahwa menilai sesuatu sebelum mengambil keputusan haruslah melalui proses perenungan yang matang dan pikiran yang jernih. Namun faktanya, hari ini tidak banyak orang yang mampu menerjemahkan pesan Tuhan yang termaktub dalam kalamnya yang suci. Kebanyakan hanya mampu menjalankan ritual agamanya sesuai kehendaknya sendiri tanpa memikirkan konsekuensi dari ibadah tersebut. Misalnya dalam kitab suci, sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang lebih ditonjolkan daripada murka-Nya. Tapi orang-orang lebih mudah mempersepsikan Tuhan sebagai “Penyiksa” daripada “Penyayang”. Cara beragama seperti ini sangat berpotensi menyulut api konflik antar umat beragama. Sehingga tidak mengherankan apabila berbagai macam kerusakan dan kekacauan timbul akibat kegagalan kita menggunakan akal sehat. Kita bisa menyaksikan di depan mata fenomena dan kehebohan yang tengah melanda umat muslim di negeri ini yang mayoritas kuat dalam ibadah ritual. Namun, hanya sedikit yang mampu mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sosialnya. Lebih dari itu, bahkan ada yang sampai melakukan hal-hal yang kelewat batas. Hanya karena masalah sepele atau seseorang kebetulan telah menyinggung simbol-simbol agamanya. Memaksimalkan Ibadah Demikianlah kala ego mulai mengusai pikiran dan syahwat kekuasaan sudah merajalela. Maka gerak akal menjadi sempit, sehingga sangat sulit melihat kebenaran dan kebaikan pada diri seseorang yang dibenci, meskipun dia melakukan kebaikan selangit. Beribadah memang sangat penting, tetapi memahami dan menerjemahkan nila-nilai ibadah serta manfaatnya ke dalam kehidupan sosial jauh lebih penting untuk dilakukan. Karena terkadang seseorang lebih asyik dengan ibadah ritualnya tetapi mengabaikan ibadah sosial sebagai konsekuensi dari ibadah tersebut. Sehingga semua aktivitas ibadahnya menjadi kosong dari nilai dan manfaat. Kita bisa mengambil contoh pengamalan ibadah ritual yang begitu intensif dan semarak di mana-mana, namun di saat yang sama perilaku menyimpang berjalan seiringan. Entah karena apa hal tersebut dapat terjadi. Padahal Nabi SAW yang begitu kuat dalam ibadah ritual tetapi tetap memaksimalkan ibadah sosialnya. Sebagai contoh, Nabi sangat mudah memaafkan para pembencinya dan setiap orang yang memusuhi beliau. Bahkan beliau mendoakan mereka agar diberikan hidayah oleh Allah menuju kebenaran. Sebagaimana yang telah beliau lakukan pada sahabat Umar bin Khattab sebelum masuk Islam. Sayangnya, kebanyakan manusia lebih dikuasai sifat egoisme. Terkhusus dalam urusan beribadah. Sehingga apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan manfaat bagi orang banyak justru malah sebaliknya. Sebagaimana kata Imam Ali bahwa “Tidak ada agama tidak sempurna agamanya bagi orang yang tak menggunakan akal sehatnya”. Editor Nirwansyah/Nabhan
Assalamualaikum, Bapak-bapak, saudara-saudara, Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,Kembali kita berkesempatan untuk bersyukur dan memuji Allah swt. yang telah menganugerahkan nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan. Selain itu kita panjatkan pula salam dan shalawat kepada rasulullah Muhammad saw. yang telah mendapat amanah untuk menyampaikan dakwah Islamiyah kepada saudara-saudara, Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,Dalam menciptakan mahluk, khususnya jin dan manusia, Allah mengisyaratkan bahwa tujuan dari penciptaan ini adalah untuk beribadah ; wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun, “dan tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.”Karena itu dalam kegiatan sehari-hari maka ibadah merupakan salah satu unsur dari sesuatu yang kita laksanakan. Pada kahikatnya ibadah ini bernuansa individu, misalnya dalam ibadah salat, ketika seseorang sudah bertakbir, allahuakbar, maka kemudian ditindaklanjuti dengan membaca doa iftitah, ada yang mengungkapkannya, inni wajjahtu, kalimat ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya aku menghadapkan diriku, ini bersifat pula ada yang membaca iftitah dengan doa yang lain, allahumma ba’id baini wa baina khotoyaya, disini juga bersifat individu ; Ya allah jauhkanlah antara diriku dan semua kesalahan-kesalahanku. Disini tidak satu pun ungkapan-ungkapan itu yang mengisyaratkan doa untuk orang itu ibadah pada hakikatnya bersifat individual. Disitu setiap insan diharapkan dapat melaksanakannya dengan baik, karena ibadah itu akan kembali pula untuk dirinya. Dalam ibadah, tentu banyak doa-doa yang diungkapkan, misalnya dalam salat. Paling tidak ada delapan doa yang kita panjatkan pada Allah. Doa itu semua untuk kepentingan sendiri. Namun sayang, sering kali ke delapan doa dalam satu rangkaian ini tidak dihayati atau mungkin ada pula yang tidak memahami maknanya.Yaitu ketika masing-masing duduk setelah sujud, disitu orang yang salat akan mengungkapkan ke delapan doa tersebut. Rabbighfirli ; ya Allah ampunilah segala dosaku, Warhamni; dan sayangilah aku, Wajburni; dan anugerahkan kebaikan-kebaikan pada diriku, Warfa’ni; dan angkatlah derajatku sehingga aku menjadi orang yang dihargai, yang terhormat, bukan orang yang dilecehkan, bukan orang yang dikucilkan, Warzukni, anugerahkan kepadaku rezeki yang banyak yang halal yang baik dan yang memberi berkah, Wahdini; tunjukkanlah padaku jalan yang lurus, Wa’afinii; anugerahkanlah kesehatan kepada diriku, Wa’fuannii; dan maafkanlah segala doa yang mencakup segala hal yang diperlukan dalam hidup ini, tapi sayang, banyak diantaranya yang ketika menguncapkan rangkaian doa ini dengan cepat-cepat, bahkan ketika bangun dari sujud doa yang panjang ini diucapkan singkat lalu diikuti sujud yang lain. Padahal itu memberikan dorongan batin untruk mencapai apa yang kita inginkan kepada Allah dimensi individual dalam seghala macam ibadah yang kita laksanakan karena pada hakikatnya ibadah itu adalah perintah Allah swt. kepada setiap insan secara demikian, ketika Allah swt. mengungkapkan salah satu ayat dalam surat al-Hujurat ya ayyuhannas inna khalaqnakum min zakari wa unsa, penggalan ayat ini mengisyaratkan walaupun ibadah yang diperintahkan Allah bersifat individual, namun pada sisi lain, setiap manusia mempunyai kecenderungan sosial, kecenderungan untuk hidup bersama. Sehingga ada yang mengungkapkan tidak mungkin seorang manusia akan hidup sendiri.’Mungkin pernah ada cerita Robinson Crusoe roman karya penulis Inggris Daniel Defoe ketika terdampar dia harus hidup sendiri. Tapi pada akhirnya Robinson pun tidak hidup sendiri. Ada pula temannya dalam kisah-kisah beri nama fraidi. Nah ini berarti bahwa kalaupun ibadah bersifat individual, namun jangan pula lupa untuk selalu hidup bernuansa itulah Rasulullah saw. dalam pesannya sholatun jamaati afdolu min sholatil fadzi salat sendirian yang dilakukan secara individu ternyata nilanya kalah dibanding dengan salat jamaah. Sehingga Rasul berpesan, salat jamaah itu lebih baik ketimbang salat sendirian, dengan adanya 27 kali lipat kebaikan yang akan diterima setiap mereka yang ikut berjamaah ini mengistyaratkan bawha meskipin salat itu ibadah individual, akan menjadi lebih baik bila dilaksanakan secara berjamaah. Lebih-lebih ketika tuntunan Rasul ketika salat, pada saat allahuakbar maka ketika itu pula masing-masing individu dianjurkan untuk memutus hubungan, menghilangkan komunikasi,dengan siapa saja. Bahkan dianjurkan, jangankan komunikasi yang berupa verbal, yang terdapat dalam pikiran pun dianjurkan untuk itu hanya dirinya dan Allah yang ada. Sehingga seseorang yang dapat meningkatkan kualitas salatnya hanya tertuju pada Allah swt., maka inilah kualitas yang terbaik, yang disebut sebagai kuaitas khusyuk. Dan khusyuk merupakan salah satu atau ciri utama dari orang-orang yang dapat disebut benar-benar mengisyaratkan dalam surat al-Mukminun ; Qod aflahal mu’minun, alladzinahum fi shollatihim khoosyi’un “Sungguh beruntung orang yang benar-benar beriman”. Dalam al-Qur’an ada dua kata untuk orang beriman. Yang pertama disebut alladzina amanu, diartikan dalam Bahasa Indonesia orang-orang yang beriman. Dan kedua al-mukminun, juga orang orang yang dalam kaidah tafsir, ternyata ada perbedaan diantara keduanya. Kalau alladzina amanu bisa menyangkut semua orang beriman, baik dia yang soleh atau yang tidak soleh. Yang selalu melaksanakan salat maupun yang jarang atau tidak pernah salat. Selagi dia mengucapkan Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, maka dia sudah beriman, dan termasuk alladzina amanu, tapi belum menjadi al-mukminun, karena salah satu karakter al-mukminun adalah alladzinahum fi shollatihim khoosyi’ dari itu ciri pertama dapat pula untuk mengukur diri sendiri , sudah saya menjadi al-mukminun atau baru sekedar menjadi alladzina kemudian, salat yang mestinya ditingkatkan pelaksanaannya menjadi salat yang khusuk untuk individu maka pada saat salat itu berakhir, Rasulullah memberikan tuntunan untuk mengucapkan salam. Saat mengucapkan salam, sambil diawali dengan menengok ke kanan kemudian menengok ke kiri. Ini artinya adalah bahwa ketika mengucapkan salam, seolah-olah kita dianjurkan mendoakan mereka yang ada di samping kanan atau kiri kita. Sehingga pada awalnya salat adalah masalah individu, tetapi selesai salat kita dianjurkan untuk kembali kepada fakta kehidupan, yaitu ini diawali dengan mendoakan; assalamualaikum warahmatullah baik kepada manusia maupun mahluk halus yang ada di samping kita. Dan diiringi dengan ucapan salam ke samping kiri. Ini artinya kita dikembalikan kepada kehidupan nyata, yaitu bertetangga, berteman, bermasyarakat. Kalau ibadah salat demikian, begitu pula yang terdapat dalam ajaran ibadah-ibadah yang lain. Ibadah zakat, ini juga dalam rangka kepedulian sosial. Ibadah puasa yang juga sifatnya individu namun dalam ibadah puasa itu ada anjuran-anjuran untuk menyempurnakannya dengan kebaikan-kebaikan pada bulan Ramadhan; banyak bersedekah, banyak menolong orang, banyak berinfak, ini dalam rangka dimensi sosial dari ibadah-ibadah individual tersebut. Ibadah haji demikian pula, sehingga mereka yang sudah berhaji dan umroh, tidak bisa dia bersifat individual. Pasti akan terkait dengan orang-orang lain yang juga melaksanakn ibadah, ataupun yang mendukung pelaksanaan ibadah sinilah tampaknya petunjuk tuntunan ajaran Allah swt. saling terkait. Yang kita teliti banyak yang bersifat individu, namun dibaliknya tercakup pula makna-makna sosial. Disitulah kita dalam kehidupan ini tidak dapat mengabaikan teman, saudara, masyarakat yang ada disekitar kita. Sehingga dengan ibadah itu kita dituntun untuk memiliki kepedulian sosial. Dengan demikian, hal-hal yang kita lakukan tidak hanya tertuju pada diri kita, tetapi juga kebaikan-kebaikan orang salat mengapa seseorang dianjurkan untuk meluruskan saf dan merapatkannya ini menujunkann bahwa merapatkan barisan itu sebagai indikasi memberi kesempatan pula kerpada orang lain yuntuk melaksanakan ibadah. Karena itu ibadah yang dianjurkan Allah swt. dalam beragam dimensinya pasti mencakup dua hal; yakni individual dan sosial. Hal ini dalam rangka membina diri kita agar memiliki kepeduliaan sosial terhadap sesama. Sejauh manakah ibadah yang bernuansa dua dimensi ini kita laksanakan?Semoga semua itu dapat membina diri kita menjadi orang yang punya empati terhadap lingkungan kita.—Disampaikan oleh Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. dalam khutbah Jumat di Mall Bellagio pada 24 April 2015.
Keseimbangan Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial Oleh A. Fatih Syuhud Ketika Nabi mendengar berita bahwa Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash sangat rajin beribadah siang dan malam sepanjang hari dan bulan, Rasulullah lalu memanggilnya dan bertanya, “Apakah betul bahwa engkau selalu puasa pada siang hari dan tidak tidur pada malam hari?” “Betul ya Rasulullah”, jawab Abdullah. Lalu Nabi dengan tegas menyatakan, “Jangan lakukan itu. Puasa dan berbukalah. Bangun dan tidurlah. Karena tubuhmu, matamu dan istrimu masing-masing punya hak yang harus engkau penuhi.”[1] Nasihat Nabi kepada Abdullah bin Amr tersebut menunjukkan bahwa seorang muslim yang baik adalah yang dapat menjaga keseimbangan dalam kehidupan dan tidak berlebihan dalam segi apapun termasuk dalam beribadah. Seorang muslim yang baik tidak harus beribadah selama 24 jam setiap hari. Karena, hal itu bertentangan dengan fitrah manusia. Seorang muslim hendaknya tetap menjadi manusia normal yang menikah dan membina keluarga serta bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup diri, anak dan istrinya di samping beribadah tentunya. Bekerja untuk menafkahi keluarga bukan hanya tidak dilarang, ia justru menjadi bagian dari ibadah apabila dilakukan dengan tulus dan dengan niat mengharap pahala dan ridha Allah. Nabi bersabda “Apabila seorang lelaki menafkahkan harta pada keluarganya dengan niat ibadah, maka itu dianggap sadaqah.”[2] Dengan demikian, dalam Islam perbuatan yang mendapat pahala dan dihargai oleh Allah tidak terbatas hanya pada ibadah ritual murni mahdah seperti shalat, puasa dan haji, tapi juga meluas pada segala perilaku duniawi apabila itu dilakukan dengan niat ibadah. Termasuk di dalamnya interaksi sosial yang baik antara sesama manusia. Islam sangat menghargai individu muslim yang memiliki kepekaan dan empati dalam berperilaku yang dapat menciptakan keharmonisan, kedamaian, keadilan dan manfaat pada sesama manusia dan alam. Nabi bersabda “Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya engkau berlaku adil kepada dua orang yang bertikai / berselisih adalah sedekah, engkau membantu seseorang menaikannya ke atasnya hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang engkau jalankan menuju ke masjid untuk shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.”[3] Dalam hadits yang serupa Nabi bersabda “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah. Begitu juga amar makruf nahi munkar, memberi petunjuk pada musafir yang tersesat, menolong orang buta dan membuang batu dan duri dari tengah jalan.”[4] Dalam menjelaskan hadits ini, Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah menyatakan “Sunnah hukumnya menghilangkan sesuatu yang berpotensi menyakiti sesama muslim di manapun berada. Rasulullah menganggap bahwa membuang duri dari jalan itu bagian dari iman dalam sabdanya, “Iman itu terdiri dari 70 lebih bagian. Yang paling utama adalah Lailaha illallah. Dan yang paling dasar adalah membuang duri dari jalan.”[5] Terkait hadits anjuran menyingkirkan gangguan dari tengah jalan, Zainuddin Al-Iraqi w. 806 H dalam Tarh Al-Tatsrib, menyatakan bahwa membantu sesama tidak hanya sunnah tapi bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu المراد بإماطة الأذى عن الطريق إزالة ما يؤذي المارة من حجر أو شوك ، وكذا قطع الأحجار من الأماكن الوعرة كما يفعل في طريق ، وكذا كنس الطريق من التراب الذي يتأذى به المار وردم ما فيه من حفرة أو وهدة وقطع شجرة تكون في الطريق وفي معناه توسيع الطرق التي تضيق على المارة وإقامة من يبيع أو يشتري في وسط الطرق العامة كمحل السعي بين الصفا والمروة ونحو ذلك فكله من باب إماطة الأذى عن الطريق ومن ذلك ما يرتفع إلى درجة الوجوب كالبئر التي في وسط الطريق التي يخشى أن يسقط فيها الأعمى والصغير والدابة فإنه يجب طمها أو التحويط عليها إن لم يضر ذلك بالمارة والله أعلم . وزاد البخاري في هذا الحديث { ودل الطريق صدقة } وهو أن يدل من لا يعرف الطريق عليها Artinya Yang dimaksud dengan “menyingkirkan gangguan dari jalan” adalah menghilangkan sesuatu yang akan menyakiti orang lewat seperti batu atau duri. Begitu juga memotong batu dari tempat yang sulit sebagaimana dilakukan di jalan. Begitu juga menyapu jalan dari debu yang dapat mengganggu orang lewat dan menutup lubang sesuatu di jalan seperti lubang atau tanah rendah dan memotong pohon yang berada di jalan. Serupa dengan itu adalah memperluas jalan yang sempit yang mempersempit orang yang lewat dan membangun tempat orang yang jual beli di tengah jalan umum seperti tempat sa’i antara shofa dan marwah dan lain-lain. Semua itu termasuk dalam kategori menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan hal ini bisa naik pada tingkat wajib seperti sumur yang berada di tengah jalan yang dikuatirkan akan menyebabkan jatuhnya orang buta, anak kecil dan hewan, maka wajib menutupinya atau memberi tembok apabila hal itu tidak mengganggu orang lewat. Imam Bukhari menambah pada hadits ini dengan kalimat “Menunjukkan jalan itu termasuk sadaqah.” Maksudnya menunjukkan jalan pada orang yang tidak tahu. [6] Dari uraian ini dapat diambil beberapa poin kesimpulan, pertama, perlunya keseimbangan antara ibadah murni dengan ibadah duniawi. Kedua, perbuatan duniawi yang hukum asalnya bersifat mubah, bukan sunnah, dapat naik tingkat dan berubah menjadi sunnah apabila diniati ibadah. Ketiga, perbuatan baik yang bermanfaat pada sesama manusia adalah ibadah sunnah bahkan dapat berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Termasuk ibadah Keempat, ibadah sosial sama baiknya dengan ibadah murni dan seorang muslim sangat dianjurkan untuk berimbang dan proporsional dalam hal ini sebagaimana disebut dalam hadits Abdullah bin Amr di atas.[] [1] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Salamah bin Abdurrahman. Teks hadits قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا عبد الله ألم أخبر أنك تصوم النهار وتقوم الليل قلت بلى يا رسول الله قال فلا تفعل صم وأفطر وقم ونم فإن لجسدك عليك حقا وإن لعينك عليك حقا وإن لزوجك عليك حقا [2] Hadits sahih riwayat muttafaq alaih dari Abu Mas’ud Al-Anshari. Teks hadits إذا أنفق المسلم نفقة على أهله، وهو يحتسبها كانت له صدقة [3] Hadits sahih riwayat muttafaq alaih dari Abu Hurairah. Teks hadits كُلُّ سُلَامَـى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِـيْ دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَـمْشِيْهَا إِلَـى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ ، وَتُـمِيْطُ اْلأَذَىٰ عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ [4] Hadits riwayat Tirmidzi sahih menurut Ibnu Hajar. Teks hadits تبسمك في وجه أخيك صدقة، وأمرك بالمعروف صدقة ونهيك عن المنكر صدقة، وإرشادك الرجل في أرض الضلال لك صدقة، ونصرك الرجل الرديء البصر لك صدقة، وإماطتك الحجر والشوك العظم عن الطريق لك صدقة [5] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 2/469. [6] Abul Fadhal Zainuddin Al-Iraqi, Tharh Al-Tatsrib fi Syarh Al-Taqrib, hlm. 3/18.
mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial